Sabtu, 27 April 2013


AKU HERAN
KARYA: PRANANDHITA S. S.


Ibu kandung mengambil kayu di tanah warisan,
dibawa ke pengadilan
Tetangga mengambil kelapa kering,
dipenjarakan
Apa tak bisa saling memaafkan?

Semangka diambil, sebangsa uring-uringan
Perceraian dikoar-koarkan
Pernikahan instan digembor-gemborkan

Katanya mencari keadilan,
Nyatanya menitik kesalahan

Giliran anak bangsa terlantar dalam kemiskinan tanpa pendidikan,
satu dua saja yang memperjuangkan
Saat budaya bangsa ini kemalingan,
baru merasa saat semuanya telah hilang

Aku heran,
Semua sibuk mengurusi permasalahan yang harusnya bisa didamaikan
Hingga lupa pada persoalan yang harusnya dipikirkan mendalam.

Jumat, 26 April 2013

ARTIKEL PENGARUH “MIKUL DHUWUR MENDHEM JERO” DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

PENGARUH “MIKUL DHUWUR MENDHEM JERO”
DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

Indonesia merupakan sebuah negara yang berbudaya dan berbudi pekerti luhur, seperti apa yang dicita-citakan para pahlawan di zaman perjuangan. Tapi kenyataannya kian hari adab dan budi pekerti semakin menghilang. Batas norma pun menjadi kabur. Penyebab utamanya adalah globalisasi. Karakter bangsa yang luhur ini seolah menghilang seiring pesatnya perkembangan zaman.
Bangsa ini tengah mengalami degradasi moral. Tawuran merajalela, penggunaan kata-kata yang memburuk, meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, kaburnya batasan moral baik-buruk, menurunnya etos kerja, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, membudayanya ketidakjujuran, dan adanya saling curiga dan kebencian antara sesama merupakan buktinya. Untuk mencegah degradasi moral bertambah parah, pendidikan karakter harus lebih ditingkatkan baik di lingkungan formal, informal maupun nonformal. Ada satu peribahasa Jawa yang tepat untuk mendidik karakter anak bangsa yang sudah mulai hilang rasa hormatnya pada orang tua, yakni “mikul dhuwur mendhem jero”.
Memang tidak sedikit kebiasaan dan/atau norma adat yang masih cocok untuk diterapkan di zaman globalisasi seperti sekarang ini. Namun tidak sedikit pula petuah-petuah yang diajarkannya pada bangsa ini dan tetap saja cocok mengikuti perubahan zaman seperti apapun. Petuah dan norma adat tersebut seolah menjadi pengendali karakter masyarakat Indonesia di zaman perkembangan ini. Salah satunya ialah peribahasa tersebut, “mikul dhuwur mendhem jero”.
“Mikul dhuwur mendhem jero” secara harfiah berarti memikul tinggi memendam dalam. Dalam adat yang Jawa, bila orang tua meninggal, anak-anaknyalah yang wajib mengusung peti jenazahnya serta bertanggungjawab secara menyeluruh terhadap proses pemakamannya. Usungan diharapkan dapat dipikul setinggi mungkin (mikul dhuwur) agar tidak tersangkut pagar, tanaman atau sesuatu yang merintangi. Kemudian jenazah harus dikubur sedalam mungkin (dipendhem jero) agar tidak mudah dibongkar atau dimakan binatang buas atau juga jangan sampai bau busuk keluar mengganggu orang lain.
Mikul dhuwur mendhem jerodapat pula diartikan meninggikan atau menonjolkan kelebihan serta kebaikan keluarga dan menutupi kekurangan atau keburukan keluarga. Namun peribahasa tersebut sebenarnya memiliki makna sangat dalam, yakni njunjung drajade wong tuwa (menjunjung tinggi derajat dan harkat martabat orang tua). Peribahasa tersebut mengajarkan kita agar mampu menjunjung tinggi derajat dan harkat martabat orang tua, tidak menyebabkan aib dan cela untuk mereka. Selain itu kita harus bisa menghargai serta menghormati orang tua.Tidak hanya orang tua dalam arti sempit namun juga dalam arti yang lebih luas, yakni orang yang lebih tua, pemimpin, tokoh masyarakat dan sebagainya.
Kita yang lebih muda harus bisa menghargai apa yang mereka lakukan, mempertimbangkan nasihat mereka, menghormati mereka. Meski begitu bukan berarti sebagai yang lebih muda kita membenarkan terlebih membiarkan jika ada perbuatan atau perkataan yang salah. Kita tetap berkewajiban mengingatkan mereka, dengan cara yang halus sehingga mereka tidak merasa tersinggung atau merasa tidak dihargai.
Saat ini jarang sekali orang yang mau menghormati orang tuanya. Apa lagi menghormati pimpinan atau orang yang lebih tua. Anak-anak malah banyak yang mengecewakan orang tuanya. Banyak darah muda yang menentang nasihat dan saran tetua, bahkan dengan cara-cara yang brutal. Mereka tidak lagi menghargai adat dan norma yang ada. Akibatnya, kejahatan dimana-mana dan masyarakat mempunyai moral yang buruk.
Bila rasa hormat telah kembali tertanam pada jiwa generasi muda, budi pekerti luhur bangsa ini akan ikut kembali. Andai mikul dhuwur mendhem jero bisa diterapkan, degradasi moral pasti dapat diatasi. Jika yang muda menghargai yang lebih tua, penggunaan kata-kata yang kurang baik bisa dikurangi, tawuran bisa diredam, karena setiap hal dapat dibicarakan dengan baik. Setidaknya batasan moral dan norma tidak akan lenyap, terhapus arus globalisasi. Indonesia pun bisa semakin maju bukan hanya pada perekonomiannya saja namun pada karakternya pula.