PENGARUH “MIKUL
DHUWUR MENDHEM JERO”
DALAM PENDIDIKAN
KARAKTER
Disusun untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu : Sri
Pamungkas, M. Hum.
Oleh:
NOVI NURCAHYANI (1220717018)
PRANANDHITA S. S. (1220717022)
YENI ERYANTI (1220717031)
PENDIDIKAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA
STKIP PGRI PACITAN
PACITAN
TAHUN 2013
PENGARUH “MIKUL DHUWUR MENDHEM JERO”
DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Indonesia
merupakan sebuah negara yang berbudaya dan berbudi pekerti luhur, seperti apa
yang dicita-citakan para pahlawan di zaman perjuangan. Tapi kenyataannya kian
hari adab dan budi pekerti semakin menghilang. Batas norma pun menjadi kabur.
Penyebab utamanya adalah globalisasi. Karakter bangsa yang luhur ini seolah
menghilang seiring pesatnya perkembangan zaman.
Bangsa
ini tengah mengalami degradasi moral. Tawuran meraja lela, penggunaan kata-kata
yang memburuk, meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas,
kaburnya batasan moral baik-buruk, menurunnya etos kerja, rendahnya rasa hormat
kepada orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga
negara, membudayanya ketidakjujuran, dan adanya saling curiga dan kebencian
antara sesama merupakan buktinya. Untuk mencegah degradasi moral bertambah
parah, pendidikan karakter harus lebih ditingkatkan baik di lingkungan formal,
informal maupun nonformal. Ada satu peribahasa Jawa yang tepat untuk
mendidik karakter anak bangsa yang sudah mulai hilang rasa hormatnya pada orang
tua, yakni “mikul dhuwur mendhem jero”.
Memang
tidak sedikit kebiasaan dan/atau norma adat yang masih cocok untuk diterapkan
di zaman globalisasi seperti sekarang ini. Namun tidak sedikit pula
petuah-petuah yang diajarkannya pada bangsa ini, dan tetap saja cocok mengikuti
perubahan zaman seperti apapun. Petuah dan norma adat tersebut seolah menjadi
pengendali karakter masyarakat Indonesia di zaman perkembangan ini. Salah
satunya ialah peribahasa tersebut, “mikul dhuwur mendhem jero”.
“Mikul
dhuwur mendhem jero” secara harfiah berarti memikul tinggi memendam dalam. Dalam
adat yang Jawa, bila orang tua meninggal, anak-anaknyalah yang wajib mengusung
peti jenazahnya serta bertanggungjawab secara menyeluruh terhadap proses
pemakamannya. Usungan diharapkan dapat dipikul setinggi mungkin (mikul dhuwur)
agar tidak tersangkut pagar, tanaman atau sesuatu yang merintangi. Kemudian
jenazah harus dikubur sedalam mungkin (dipendhem jero) agar tidak mudah
dibongkar atau dimakan binatang buas atau juga jangan sampai bau busuk keluar
mengganggu orang lain.
Mikul
dhuwur mendhem jero dapat pula diartikan meninggikan atau
menonjolkan kelebihan serta kebaikan keluarga dan menutupi kekurangan atau
keburukan keluarga. Namun peribahasa tersebut sebenarnya memiliki makna sangat
dalam, yakni njunjung drajade wong tuwa (menjunjung tinggi derajat dan
harkat martabat orang tua). Peribahasa tersebut mengajarkan kita agar mampu
menjunjung tinggi derajat dan harkat martabat orang tua, tidak menyebabkan aib
dan cela untuk mereka. Selain itu kita harus bisa menghargai serta menghormati
orang tua. Tidak hanya orang tua dalam arti sempit namun juga dalam arti yang
lebih luas, yakni orang yang lebih tua, pemimpin, tokoh masyarakat dan
sebagainya.
Kita
yang lebih muda harus bisa menghargai apa yang mereka lakukan, mempertimbangkan
nasihat mereka, menghormati mereka. Meski begitu bukan berarti sebagai yang
lebih muda kita membenarkan terlebih membiarkan jika ada perbuatan atau
perkataan yang salah. Kita tetap berkewajiban mengingatkan mereka, dengan cara
yang halus sehingga mereka tidak merasa tersinggung atau merasa tidak dihargai.
Saat
ini jarang sekali orang yang mau menghormati orang tuanya. Apa lagi menghormati
pimpinan atau orang yang lebih tua. Anak-anak malah banyak yang mengecewakan
orang tuanya. Banyak darah muda yang menentang nasihat dan saran tetua, bahkan
dengan cara-cara yang brutal. Mereka tidak lagi menghargai adat dan norma yang
ada. Akibatnya, kejahatan dimana-mana dan masyarakat mempunyai moral yang buruk.
Bila
rasa hormat telah kembali tertanam pada jiwa generasi muda, budi pekerti luhur
bangsa ini akan ikut kembali. Andai mikul dhuwur mendhem jero bisa
diterapkan, degradasi moral pasti dapat diatasi. Jika yang muda menghargai yang
lebih tua, penggunaan kata-kata yang kurang baik bisa dikurangi, tawuran bisa
diredam, karena setiap hal dapat dibicarakan dengan baik. Setidaknya batasan
moral dan norma tidak akan lenyap, terhapus arus globalisasi. Indonesia pun
bisa semakin maju bukan hanya pada perekonomiannya saja namun pada karakternya
pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar